Friday, 22 November 2013

Dibuang Sayang (2)

Berikut dish yang buat oleh para chef professional dari Bali dalam acara Fonterra Challenge Pastry & Cooking Competition 2013, November di Nusa Dua, Bali.

















Dibuang Sayang (1)

Kue-Kue cantik karya chef professional dari Hotel di Bali pada acara Fonterra Challenge Pastry & Cooking Competion 2013, di Nusa Dua Bali


  
 





Baliiii

Hampir 10 tahun lalu, dan baru tahun ini saya kembali ke kota ini :):)
Bali, menjadi kota destinasi wajib para wisatawan mancanegara juga domestik.

Kali ini, saya mendapat tugas di kota ini selama 2 hari, dan selama dua hari ini pula tak ada sedikit pun sela untuk sekedar melihat-lihat sekeliling, bahkan di seputar tempat penginapan saya.
Kebetulan saya menginap di Hotel Patra Jasa, tepat di sebelah Bandara Ngurah Rai, bahkan suara pesawat take off dan landing pun terdengar.
Kabarnya Pak SBY juga pernah menginap di hotel ini lho :):) #huehehe...

Tugas kali ini saya berkesempatan untuk mengunjungi 2 hotel yang menurut saya luar biasa bagus, yakni The Laguna Resort & Spa Bali, yang berlokasi di Nusa Dua, dan Bvlgari Hotel & Resort yang berlokasi di Uluwatu, Bali.

Salah satu swimming pool di area hotel

Berlokasi di daerah Nusa Dua, hotel ini langsung bersentuhan dengan bibir pantai Nusa Dua.
Tempatnya keren banget, harga kamarnya mulai dari 160USD/malam.


Rusto's Tempe: Membangun Bisnis Tempe di Negeri Orang

Rustono, Pengusaha Tempe di Jepang
Memilki tanah kelahiran dari pelosok negeri bukan berarti membuat nyali sang pengusaha ini ciut. Berawal dari kegigihannya untuk memasarkan tempe makanan khas orang Indonesia, Rustono jatuh bangun membangun kerajaan bisnis tempenya di Jepang.

Rustono lahir di Grobogan, 44 tahun lalu. Bermula dari tahun 1997 setelah dia bekerja selama 6 tahun di Hotel Sahid Yogyakarta, Rustono bertemu dengan belahan jiwanya, Tsuruko Kuzumoto. Tsuruko merupakan wisatawan dari Negara Jepang yang sedang berkunjung di hotel tempat Rustono bekerja. Rustono pun jatuh hati pada gadis Jepang ini. Tak hanya bertepuk sebelah tangan, sang wanita pun juga mempunyai perasaan yang sama dengan Rustono, dan pada tahun yang sama, Rustono pun berangkat ke Jepang untuk mempersunting pujaan hatinya. 

Setibanya di Jepang, pekerjaan apapun dilakoni bapak beranak tiga ini, mulai dari bekerja di toko roti, hingga di toko sayur mayur. Tak hanya bekerja, Rustono degan jeli mengamati cara dan etos kerja orang-orang Jepang. Tak hanya bertanggung jawab dengan pekerjaannya, karyawan Jepang juga dituntut untuk ikut serta dalam menjaga kualitas produk perusahaannya. Ketatnya Pemerintahan Jepang dalam mengawasi produksi dan peredaran produk pangan juga tak luput dari pengamatan Rustono kala itu. Melihat hal tersebut, terbesit di hati Rustono untuk dapat membuka usaha yang belum ada di Jepang. Selain nato dan tofu yang dikenalnya sebagai bahan makanan orang Jepang, Rustono tidak melihat tempe yang juga merupakan olahan kedelai dijual di Jepang. Dan mulai saat itu, mantaplah hati Rustono untuk bisa menjual tempe di negeri sakura.

Membuka usaha makanan tidak semudah apa yang awal dipikirkan Rustono. Dia juga tak punya ilmu dan keahlian sediktpun mengenai tata cara pembuatan tempe. Dengan kedelai dari Jepang dan ragi dari Indonesa, dia mencoba membuat tempe pertamanya. Selama bertahun-tahun dia gagal membuat tempe yang layak jual. Dia tak tahu bagaimana membuat tempe dengan benar, bagaimana membuat tempe supaya gurih, perbedaan rasa yang ditimbulkan jika tempe dikemas dengan plastik atau daun, bagaimana cara memfermentasi tempa yang benar. Karena hal itu, dia memutuskan kembali ke Indonesia, dan belajar selama 3 bulan dari 60 pengusaha tempe di Jawa. Ketika ditanya mengenai adakah perbedaan proses membuat tempe di Indonesia dan di Jepang, Rustono dengan cepat menjawab, “secara teknik hampir tidak ada, tetapi waktu itu saya sangat bermasalah dengan kelembapan di jepang, dimana kelembapan dapat mempengaruhi proses fermentasi tempe”. Fermentasi tempe bisa berhasil dalam kelembaban 60%-90%, yang tentu saja tidak masalah jika produksinya di Indonesia. Sedangkan Jepang memiliki empat musim, dan setiap musim memliki kelembapan berbeda, saat musim panas adalah saat yang tepat untuk membuat tempe. Untuk mengatasi hal tersebut, dengan proyek coba-cobanya, Rustono bisa mengatur kelembapan ruang fermentasi tempenya dengan alat sederhana yang dibuat dengan tangannya sendiri.

Tempe berhasil dibuat, dan tantangan selanjutnya muncul. Untuk menjual produknya Rustono harus memperoleh izin produksi dari Pemerintah Jepang. Penelitian dan tes laboratorium harus dilalui. Pernyataan mengenai kesanggupan untuk tetap menjaga kualitas produk yang diproduksinya juga harus dibuat oleh Rustono. Akhirnya ijin berjualan Rustono dapatkan. Dia pun mulai memasarkan produknya dari satu pintu ke pintu, dari satu hotel ke hotel lain. “awalnya sama sekali tidak ada yang membeli tempe saya. Semua hotel, restoran, catering menolak tempe yang saya tawarkan. Karena tempe memang belum dikenal saat itu di Jepang, dan mereka seperti meng-underestimate-kan tempe” cerita Rustono.

Keajaiban pun datang hingga akhirnya tempe Rustono dikenal dan tersebar hingga seluruh wilayah Jepang. Seiring dengan itu, banyak penelitian di Jepang yang meng-klaim manfaat kesehatan dari mengonsumsi tempe. Dengan merek dagang Rusto’s Tempeh, Rustono menjual tempenya dengan harga 35-40 ribu per 200-250 gram tempe. Kini Rustono memiliki pabrik tempe yang dia bangun sendiri di kawasan Shiga. Kapasitas produksi tempe yang hingga 160.000 bungkus itu sanggup memenuhi permintaan swalayan, toko, hotel, catering dan rumah sakit di Tokyo dan Fukuoka. Untuk memenuhi pasokan kedelai, Rustono bekerjasama dengan para petani kedelai di Nagahama, Shiga. Ke depannya, Rustono kini sedang membangun pabrik tempenya yang kedua, berlokasi tidak jauh dari pabrik pertama.